toolbar powered by Conduit

Minggu, 27 Juli 2008

lestarikan alamku

Cikondang Lestarikan Alam
Tidak Pernah Alami Bencana

Bandung, Kompas - Masyarakat Kampung Adat Cikondang, yang terdiri dari sekitar 200 kepala keluarga, hidup secara modern. Namun, selama lebih dari 300 tahun, mereka mampu menjaga hutan larangan dan lingkungan adat lainnya, berikut seluruh makhluk hidup di dalamnya.

Kampung adat yang berada di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung, terasa asri. Sawah, kolam ikan, dan sungai berbatu adalah pemandangan di kampung itu.

Meski demikian, masyarakatnya cukup modern. Hampir seluruh penduduk memiliki barang elektronik sehingga mudah mendapatkan hiburan. Model rumahnya pun banyak yang modern, seperti banyak dijumpai di kota.

Namun, masyarakatnya mempertahankan budaya leluhur yang diwariskan berabad-abad lalu. Dengan hanya menyebutkan kata pamali (dilarang), masyarakat mematuhinya. Hasilnya, sejak dibukanya lahan kampung adat oleh Syeh Muhammad Tunggal lebih dari 300 tahun lalu, lahan hutan lindung, lahan pertanian, dan permukiman tetap terpelihara.

Menurut Samsa, Ketua Adat Kampung Cikondang, Kamis (29/3), hutan lindung atau hutan keramat milik kampung adat seluas 3 hektar merupakan bagian dari Gunung Tilu.

Luas persawahannya 4.200 meter persegi, terdiri dari lahan palawija 3.500 meter persegi dan permukiman atau rumah adat 700 meter persegi. Sementara luas pemakaman 5 hektar. Seluruh wilayah kampung adat ini masih lestari.

"Masyarakat tahu bahwa mereka boleh masuk hutan untuk mencari kayu bakar dari pohon-pohon tumbang, tetapi tidak boleh menebangnya," kata Samsa.

Masyarakat di luar komunitas adat Cikondang tidak berani masuk karena memercayai akan tersesat di dalamnya. Pohon-pohon di hutan tersebut masih rapat. Jenis pohonnya antara lain kayu masang, lengsar, puspa, dan saninten. Banyak pohon yang diameternya mencapai 2 meter.

Lima tahun sekali, untuk mengganti pohon tumbang, masyarakat menanam pohon lain, seperti rasamala, kayu putih, dan pinus. Sementara itu, jenis binatang yang ada di dalamnya, antara lain kera, rusa, harimau, babi hutan, dan ular-ular besar.

Masyarakat tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga upacara adat. Setiap setahun sekali diadakan hajat lembur. Setiap Agustus diadakan hajat susukan untuk memeriksa irigasi dan mengairi sawah. Setiap tanggal 1-15 Muharam diadakan wuku taun (pembukaan tahun).

Hampir seluruh penduduk memiliki penghasilan memadai. Setiap keluarga mampu menyekolahkan anaknya sampai sekolah menengah atas, bahkan ada yang kuliah di perguruan tinggi. "Dengan mengikuti semua perintah dan menaati larangan adat, masyarakat tidak pernah mengalami bencana alam dan kelaparan," ujar Samsa. (ynt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar