toolbar powered by Conduit

Minggu, 27 Juli 2008

Sumbar Lestarikan Penyu PDF Print
26-05-2008
Padang - Pemerintah Kota Padang melanjutkan penangkaran penyu melalui kegiatan pembibitan tahap dua pada bulan Mei 2008. "Ancaman kepunahan terjadi akibat perburuan terhadap penyu dan telurnya masih cukup tinggi, karena harga jualnya menggiurkan," kata Kepala Bapedalda Kota Padang, Endang Dewata, di Padang, Minggu. Tahap pertama sekitar sebulan lalu telah dilepas 100 anak penyu ke Pulau Penyu, Pulau Kerabak Ketek, dan Kerabak Gadang. Anak penyu yang dilepas terdiri dari penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chetonia mydas).

Bapedalda Kota Padang, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang bekerja sama dengan Fakultas Biologi Unand, melanjutkan penangkaran terhadap penyu dengan cara swadana.

Menurut Endang, Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Flora Liar (CITES) --yang telah diratifikasi Indonesia-- memasukkan penyu dalam Apendix I, yaitu kategori harus dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan.

"Kepunahan satu jenis satwa di alam, otomatis akan menganggu ketidakseimbangan ekosistem makhluk hidup di alam," katanya.

Pemko Padang, katanya lagi, sudah mengajukan konsep kegiatan penangkaran penyu dalam APBD sebesar Rp200 juta untuk dialokasikan dalam tahun 2009.

"Sedangkan kegiatan penangkaran tahun 2008, kita hanya menggunakan dana swadaya, sehingga 2009 perlu lebih dianggarkan dalam APBD Kota Padang agar konservasi terhadap penyu makin baik," katannya.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang mengkonsumsi telur penyu. Mimi (60), perantau Minang di Jakarta, mengatakan setiap pulang ke Padang, dirinya bisa menghabiskan 20 telur penyu matang sekali makan.

"Habis, telur penyu enak sih, lagian di Jakarta sulit diperoleh kendati ada, harganya jauh lebih tinggi," katanya.

Harga telur penyu kini mencapai Rp5.000/butir hingga Rp7.000/butir.

Peneliti aktif dari Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang, Harfiandri Damanhuri, menyebutkan, konsumsi telur penyu oleh masyarakat Sumatera Barat cukup tinggi, terkait pasokan telur penyu mencapai 1.000 butir per minggu ke pusat penjualan telur penyu di Pantai Padang, Kota Padang.

Pusat Informasi Penyu wilayah Sumatera Barat menyebutkan, berdasarkan perhitungan pada April-Juni tahun 2005 lalu, jumlah telur penyu yang masuk ke lokasi penjualan mencapai 22.255 butir atau hampir 7.000 butir perbulan.

Sebanyak 45 persen di antaranya berasal dari pulau yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi penyu di Kabupaten Pesisir Selatan, Pulau Penyu, Pulau Kerabak Ketek, dan Kerabak Gadang.


Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2008/5/25/sumbar-lestarikan-penyu/

lestarikan alamku

Cikondang Lestarikan Alam
Tidak Pernah Alami Bencana

Bandung, Kompas - Masyarakat Kampung Adat Cikondang, yang terdiri dari sekitar 200 kepala keluarga, hidup secara modern. Namun, selama lebih dari 300 tahun, mereka mampu menjaga hutan larangan dan lingkungan adat lainnya, berikut seluruh makhluk hidup di dalamnya.

Kampung adat yang berada di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung, terasa asri. Sawah, kolam ikan, dan sungai berbatu adalah pemandangan di kampung itu.

Meski demikian, masyarakatnya cukup modern. Hampir seluruh penduduk memiliki barang elektronik sehingga mudah mendapatkan hiburan. Model rumahnya pun banyak yang modern, seperti banyak dijumpai di kota.

Namun, masyarakatnya mempertahankan budaya leluhur yang diwariskan berabad-abad lalu. Dengan hanya menyebutkan kata pamali (dilarang), masyarakat mematuhinya. Hasilnya, sejak dibukanya lahan kampung adat oleh Syeh Muhammad Tunggal lebih dari 300 tahun lalu, lahan hutan lindung, lahan pertanian, dan permukiman tetap terpelihara.

Menurut Samsa, Ketua Adat Kampung Cikondang, Kamis (29/3), hutan lindung atau hutan keramat milik kampung adat seluas 3 hektar merupakan bagian dari Gunung Tilu.

Luas persawahannya 4.200 meter persegi, terdiri dari lahan palawija 3.500 meter persegi dan permukiman atau rumah adat 700 meter persegi. Sementara luas pemakaman 5 hektar. Seluruh wilayah kampung adat ini masih lestari.

"Masyarakat tahu bahwa mereka boleh masuk hutan untuk mencari kayu bakar dari pohon-pohon tumbang, tetapi tidak boleh menebangnya," kata Samsa.

Masyarakat di luar komunitas adat Cikondang tidak berani masuk karena memercayai akan tersesat di dalamnya. Pohon-pohon di hutan tersebut masih rapat. Jenis pohonnya antara lain kayu masang, lengsar, puspa, dan saninten. Banyak pohon yang diameternya mencapai 2 meter.

Lima tahun sekali, untuk mengganti pohon tumbang, masyarakat menanam pohon lain, seperti rasamala, kayu putih, dan pinus. Sementara itu, jenis binatang yang ada di dalamnya, antara lain kera, rusa, harimau, babi hutan, dan ular-ular besar.

Masyarakat tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga upacara adat. Setiap setahun sekali diadakan hajat lembur. Setiap Agustus diadakan hajat susukan untuk memeriksa irigasi dan mengairi sawah. Setiap tanggal 1-15 Muharam diadakan wuku taun (pembukaan tahun).

Hampir seluruh penduduk memiliki penghasilan memadai. Setiap keluarga mampu menyekolahkan anaknya sampai sekolah menengah atas, bahkan ada yang kuliah di perguruan tinggi. "Dengan mengikuti semua perintah dan menaati larangan adat, masyarakat tidak pernah mengalami bencana alam dan kelaparan," ujar Samsa. (ynt)